Thursday, February 26, 2009

apel pagi dan produktivitas

sebelum tulisan ini menjadi begitu panjang, izinkanlah saya menghaturkan sebesar-besarnya maaf bagi para pencinta formalisme dan ketaatan semu. Hal ini menjadi penting karena mungkin saja tulisan ini akan menyinggung perasaan anda dan mengganggu stabilitas jiwa saudara. Tapi walaupun tanpa maaf, tulisan ini akan tetap kulanjutkan, jadi..... tabe’ di....

sudah hampir sebulan ini, kebijakan baru muncul di kantor.... pelaksanaan apel di perketat. Bahkan kebijakan ini diikuti dengan penyediaan absen khusus apel yang berbeda dari absen kerja pagi dan sore.

Sebenarnya persoalan utamanya bukan pada keharusan mengikuti apel pagi, melainkan pada proses pelaksanaan apel pagi tersebut. Sejak 02 februari yang lalu, baru empat kali saya mengikuti apel pagi, itupun baru dua kali saya mengisi daftar hadir peserta apel.

Kehadiran absen apel bukannya membuat saya makin rajin, malah jenuh dengan rutinitas apel ini. Bagaimana tidak, pelaksanaan apel pagi terkesan asal-asalan dan hanya mengejar formalisme kehadiran yang dibuktikan dengan adanya tanda tangan di daftar hadir apel.

Ketika pemimpin apel menyiapkan barisan, kemudian memberi penghormatan umum kepada pembina apel sampai pada saat pembina apel memimpin doa, tak ada kesan sakral yang terasa. Yang terdengar malah celoteh dan cekikikan para pegawai yang mengikuti apel, entah menggosipkan apa dan mentertawakan siapa.

Setelah apel dibubarkan, maka rutinitas yang lebih lucu bagi saya adalah, para peserta apel antri dengan sangat tidak rapi untuk membubuhkan teken di daftar hadir apel. Bahkan terkadang saling berebut, sepertinya inti dari apel pagi adalah pada formalitas tanda tangan di absensi.

Apakah ini substansial, sehingga kebijakan menghadirkan absensi apel pagi ini dikeluarkan? Kalau sekedar ini, maka sungguh merugilah orang-orang yang apel dan hanya datang untuk berburu absensi. Merekalah orang-orang yang lebih mementingkan formalitas kehadiran yang belum tentu berimplikasi positif bagi produktivitas kerja.

Bagi saya, tentu pelaksanaan apel pagi akan lebih bermakna apabila pelaksanaannya tidak sekedar formalitas yang hampa. Alangkah indahnya bila dalam pelaksanaan apel kita menemukan aura kebersamaan yang terbangun melalui sepatah dua kata dari pembina apel yang bisa memotivasi kinerja kita dihari itu.

Selain itu, apel pagi juga bisa menjadi sarana untuk menyampaikan beragam informasi yang dibutuhkan oleh semua pegawai, semisal pengumuman tentang pelaksanaan upacara “hari kesadaran nasional” 17 agustus tiap bulan. Baik itu tentang siapa saja yang bertugas, serta mengingatkan peserta pakai baju apa.
Ataukah misalnya informasi tentang adanya pengusulan pegawai yang yang akan diusulkan menerima penghargaan satyalancana serta berkas apa yang harus disiapkan. Ataukah pengumuman lain yang menjadi informasi penting bagi para pegawai.

Dan yang lebih penting adalah kesadaran dari semua peserta apel pagi untuk memperlakukan apel pagi tidak hanya sebagai rutinitas semu dan ritus hampa, serta untuk berburu tanda tangan di daftar hadir. Selayaknya apel pagi dimaknai sebagai medium konsolidasi hati dan pikiran untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan melayani publik dengan standar pelayanan yang memadai sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing personil pegawai.

Saatnya apel pagi diperlakukan bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai kebutuhan. Apakah itu mungkin? Itu semua tergantung pada bagaimana format pelaksanaan apel pagi yang dipraktekkan. Yang pasti, bila apel pagi menjadi sesuatu yang menarik, maka saya akan menjadi rajin ikut apel pagi. Terus terang selama ini saya malas ikut apel karena saya tidak melihat signifikansi positif keikutsertaan saya dalam apel pagi dengan produktivitas kerja saya pada hari itu di kantor.

Sekali lagi, Tabe’ di..............................

No comments: