Kadang aku bertanya, apa aku yang begitu naif, kuper dan tidak bisa menyesuaikan diri, ataukah orang lain yang sudah tidak mampu menjalani hidup tanpa sandiwara. Atau apakah memang telah menjadi hukum hidup di jakarta untuk selalu tampil parlente serta selalu rapi dan necis?
Hari ini aku mengantar seorang teman ke gerai layanan sebuah operator telepon seluler di gedung Arta Graha Sudirman. Dengan lugunya aku berangkat pakai kaos oblong dipadu celana santai dan.... sendal jepit kesayanganku sejak kuliah.
Sesampainya disana, aku menjadi merasa demikian asing dan memasuki planet yang antah-berantah. Aku menjadi pusat perhatian, meskipun tanpa komentar, orang-orang itu memandang asing kepadaku. Mungkin dimata mereka aku kelihatan kumuh dan kampungan banget.
Belum lagi ketika mereka melihat sahabat hati yang kusertai datang. Teman tersebut juga mendapat perhatian ekstra. Lihat saja dengan ghirah keislaman yang lebih kental, secara fisik janggutnya panjang, ditambah celananya cingkrang diatas mata kaki. Kami berdua betul-betul menjadi makhluk asing di tempat itu.
Apakah ini yang disinyalir nabi tetang keterasingan islam diakhir zaman? Ataukah kami saja yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan jakarta? Sungguh aku terkadang merasa sangat tidak mengenali Jakarta yang sudah kuaguli selama satu tahun terakhir.
No comments:
Post a Comment